Menyikapi Kasus Penghinaan Nabi lewat film ‘Innocence of Muslims’
Bagaimana Menghadapi Musuh Islam?
Menghadapi Musuh Islam
Mesti Karena Allah (Lillah) dan Di Jalan Allah (Fillah).
Cinta dan Benci Karena Allah
Kaum muslimin di
berbagai belahan dunia belakangan ini melakukan demontrasi besar-besaran
dipicu oleh film Innocence of Muslims, yang berisi penghinaan terhadap
Nabi Muhammad Saw. Sikap kita sebagai seorang muslim adalah merasa
prihatin dengan kondisi tersebut, dan mengecam tindakan yang tidak
bertanggungjawab tersebut sebagai provokasi untuk memecah stabilitas
kedamaian dunia.
Rasa kekecewaan
seorang muslim adalah suatu sikap kewajaran. Terlepas dari kepercayaan
non muslim terhadap sosok Nabi Muhammad, bagi seorang muslim Beliau Saw
adalah pribadi yang dicintai, diakui dan mesti diikuti keteladanannya.
Adalah fitrah jika
kekasih yang dicintai dihina atau dibenci orang lain menimbulkan
kemarahan seseorang yang mencintainya. Jika tidak timbul rasa marah,
maka dipertanyakan kecintaannya itu. Akan tetapi persoalannya adalah
mengungkapkan kemarahannya mesti Fillah (karena Allah dan di Jalan Allah).[1]
Orang
yang beriman pasti mendapatkan buah keimanan berupa kecintaan kepada
Allah dan Rasul-Nya. Kalau orang mengaku beriman tapi tidak memiliki atsar (bekas) keimanannya berupa kecintaan (Mahabbah), maka dianggap dusta keimanannya. Dalam setiap urusan dunia ini setiap mukmin mesti mengaplikasikan rasa cinta sekaligus benci karena Allah dan di jalan-Nya.
Menentukan perbuatan seseorang karena Allah atau tidak adalah sulit dibuktikan, karena ada di dalam hati. Sedangkan kategori di jalan Allah itu diketahui dengan melihat perbuatan tersebut mengikuti aturan Allah atau tidak. Dalam hal ini apakah mengekspresikan kebencian tersebut sesuai dengan aturan syari’at?
Pergerakan umat Islam
yang menunjukkan kemarahannya kepada pembuat (produser)nya berdasarkan
apa yang kita lihat sebagai reaksi dari pembuatan film tersebut belum
tentu motivasinya karena Allah dan dilakukan di jalan Allah.[2]
Aturan Islam menghadapi Musuh
Dalam menyikapi kasus ini Islam memberikan aturan yang jelas, di mana pelaku kejahatan dibalas sesuai dengan apa yang dilakukannya. Apabila ia melukai mata, mesti dibalas dengan mata, tangan dibalas dengan tangan, telinga dibalas dengan telinga, dan seterusnya. Hal tersebut (apabila perlu dibalas), dan membalasnya adalah bertujuan untuk memberikan efek jera kepada pelakunya.[3] Dalam melakukannya tidak melampaui batas seperti yang banyak terjadi.
Sebagai contoh
pembelajaran bagi umat dalam menyikapi tindakan orang yang memusuhi
Islam, adalah bagaimana strategi dan aturan Islam dalam melakukan
peperangan pada masa dahulu. Dalam peperangan Islam balasan atas tindakan zhalim kaum kafir adalah sesuai dengan apa yang diterima oleh kaum muslimin. Oleh karenanya dalam Islam
hanya mengenal tipe peperangan yang defensif, yakni dalam rangka
menjaga kehormatan. Bukan ofensif yang sengaja membuat peperangan,
berdakwah dengan mengangkat senjata. Perang dalam Islam adalah sebagai bentuk reaksi atas perlakuan zhalim dan kesewenangan musuh yang merugikan umat.[4]
Dalam sejarah Islam, awal terjadinya perang adalah sebatas diizinkan, sebagaimana disebutkan dalam Al-Quran:
أُذِنَ لِلَّذِينَ يُقَاتَلُونَ بِأَنَّهُمْ ظُلِمُوا وَإِنَّ اللَّهَ عَلَىٰ نَصْرِهِمْ لَقَدِيرٌ ﴿الحج: ٣٩﴾
Telah
diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena
sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah, benar-benar
Kuasa menolong mereka itu.
Perang yang dijalankan
Rasulullah adalah perang yang terhormat, ditentukan waktu dan
tempatnya, tidak dilakukan di tempat yang menyebabkan korban sipil. Hikmahnya
adalah orang yang tidak siap di kedua belah pihak tidak terkena
efeknya. Dan orang yang berangkat ke medan perang adalah orang yang siap
dengan resikonya.
Berbeda dengan apa yang kita saksikan sekarang ini.
Bom meledak di mana-mana, di masjid, pasar atau tempat keramaian
lainnya. Sabotase, penghancuran fasilitas umum, bom bunuh diri adalah bentuk penyimpangan perilaku sebagian umat Islam dalam menyikapi persoalan kontra terhadap tindakan zhalim musuh-musuhnya. Inilah yang membuat bingung umat lain melihat perilaku sebagian umat Islam, sementara ajaran Islam di satu sisi didengungkan sebagai agama yang membawa rahmat dan kedamaian bagi seluruh umat manusia.
Umat Islam tidak
diajarkan berdiam diri ketika Islam dihina orang lain, tapi rasa
kekecewaan atau kebencian tersebut diekspresikan dengan tindakan yang
sesuai dengan Siyasah Al-Islamiyyah dan tidak ngawur (sembarang, semaunya). Demonstrasi
yang dilakukan sebagian umat Islam secara anarkis di mana-mana pada
akhirnya merugikan kelompok umat Islam sendiri, karena tidak mengikuti
prosedur Allah dan Rasul-Nya. Karena Allah tidak meridhai perbuatan tersebut sebagaimana diungkapkan dalam Ayat-Nya: Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim. [QS. Al-Maidah: 45]
2 Tipe Kelompok Islam Phobia
Apakah
aksi kebencian terhadap Rasulullah Saw itu baru-baru ini saja terjadi?
Ternyata ungkapan kebencian tersebut sudah ada pada masa dahulu, bahkan
dilampiaskan oleh orang dekat Beliau sendiri, yakni pamannya. Apa
yang terjadi saat ini hanyalah pengulangan sejarah. Sejak Nabi Muhammad
Saw diutus hingga saat ini, penghinaan dan penistaan terhadap Beliau
Saw sudah terjadi berkali-kali, pelakunya muncul silih berganti.
Ada dua kategori
kelompok yang membenci Islam (Islam phobia). Yang pertama kebencian yang
didasarkan oleh pengetahuannya, dan kedua, karena kebodohannya. Ada
komunitas umat yang membenci Islam karena mereka mengetahui Islam bahkan
dari sisi yang dalam. Sebagai contoh kelompok Yahudi pada masa
Rasulullah Saw yang telah mengetahui kepribadian Nabi Saw sehingga
disebutkan dalam Al-Quran: Ya’rifuunahuu kamaa ya’rifuuna abnaa-ahum [mereka mengenal Nabi Saw seperti mereka mengenal anak-anak mereka, Q.S. Al-An’am: 20 ]
Kelompok Islam phobia
yang kedua adalah mereka yang tidak mendapatkan informasi yang benar
tentang Islam. Padahal Islam tidak seperti apa yang dipikirkannya.
Mereka keliru menilai Islam sebagai agama yang merangkul seluruh umat,
karena dilemahkan dengan fakta perilaku sebagian umat Islam yang
mengedepankan sikap anarkis, melakukan tindak kekerasan, dan tindakan
lain yang memengaruhi pemahaman mereka.
Tindakan Bijaksana
Tindakan yang terbaik
dalam menyikapi permusuhan yang dilakukan orang yang membenci
berdasarkan kategori di atas adalah sikap menahan diri dari sikap
emosional sehingga melahirkan buah kebijaksanaan dalam menentukan
keputusan. Sebab banyak peristiwa besar yang menyudutkan umat Islam
dengan berbagai kebencian, ternyata membuat semakin banyak orang
meneliti Islam sebenarnya, dan tidak sedikit mereka akhirnya mengakui
kebesaran dan keagungan ajaran Islam.
Sikap menahan emosi
merupakan tindakan bijaksana dalam beragama. Sebagaimana yang
dicontohkan Rasulullah Saw dalam menyepakati perjanjian Hudaibiah[5] meskipun isinya sangat merugikan pihak muslim. Pada akhirnya perjanjian tersebut membuka jalan setahap demi setahap kepada kelapangan perkembangan Islam di Mekah dan Madinah selanjutnya.
Dalam buku Introduction to the Study of the Holy Qur’an diceritakan:
Dua
hal yang memikat perhatian terjadi pada waktu penandatanganan
perdamaian Hudaibiah. Sesudah syarat-syarat selesai disepakati,
Rasulullah s.a.w. mulai mendiktekan persetujuan itu dan bersabda,
"Dengan nama Allah Yang Pengasih, dan Penyayang."
Suhail
berkeberatan dan berkata, "Allah kami kenal dan beriman kepada-Nya,
tetapi apakah tambahan Yang Pengasih dan Penyayang itu?” Persetujuan ini
antara dua golongan. Oleh karena itu, kepercayaan agama kedua pihak
harus dihargai."
Rasulullah
s.a.w. segera menyetujui dan bersabda kepada juru tulisnya, "Tulis
hanya 'Dengan nama Allah'." Kemudian Rasulullah s.a.w. meneruskan
mendiktekan kata-kata persetujuan tersebut. Kalimat pembukaan berbunyi,
"Ini adalah syarat-syarat perdamaian antara kaum Mekkah dan Muhammad
Rasulullah." Suhail berkeberatan lagi dan berkata, "Jika kami memandang
anda Rasulullah, kami tidak akan memerangi anda." Rasulullah s.a.w.
menerima penolakan ini juga.
"Muhammad
Rasulullah" diganti dengan "Muhammad bin Abdullah." Karena Rasulullah
s.a.w. menyetujui dan menerima tiap-tiap penolakan kaum Mekkah, para
Sahabat menjadi resah atas penghinaan itu. Darah mereka mulai mendidih
dan Umar, orang yang paling berang, pergi kepada Rasulullah s.a.w. dan
berkata, "Ya Rasulullah, tidakkah kita ada di pihak yang benar?"
"Benar," jawab Rasulullah s.a.w., "kita ada di pihak yang benar."
"Dan tidakkah kita diberi tahu oleh Tuhan bahwa kita akan berthawaf di Ka'bah?" tanya Umar.
"Ya," sabda Rasulullah. "Jika demikian mengapa ada persetujuan ini dan mengapa ada kata-kata yang menistakan ini?"
"Benar," kata Rasulullah s.a.w., "Tuhan memang memberi khabar ghaib bahwa kita akan berthawaf dengan
damai, tetapi Tuhan tidak mengatakan kapan. Aku menyangka bahwa hal itu
akan terjadi tahun ini. Tetapi aku dapat saja salah. Harus pada tahun
inikah?"
Umar
Ra. bungkam. Kemudian sahabat-sahabat lain mengemukakan keberatan
mereka. Di antaranya ada yang bertanya, mengapa mereka menyetujui
pengembalian seorang pemuda yang masuk Islam kepada ayahnya atau walinya
tanpa mendapat syarat yang setimpal untuk seorang Muslim yang kemudian ingkar atau pergi kepada kaum Mekkah.
Rasulullah
s.a.w. menerangkan bahwa tidak ada kerugian dalam hal ini. "Tiap orang
yang masuk Islam," sabda beliau "ia masuk karena menerima
kepercayaan-kepercayaan dan amalan-amalan yang diajarkan oleh Islam, ia
tidak menjadi orang Islam untuk menggabungkan diri kepada suatu jama’ah
dan menerima adat-adat kebiasaannya. Orang demikian itu akan
menyampaikan Islam kemanapun juga ia pergi dan menjadi wahana
penyebar Islam. Tetapi orang yang meninggalkan Islam tidak berguna bagi
kita. Jika dalam hatinya tidak lagi beriman kepada apa yang kita
percaya, ia bukan lagi seorang di antara kita. Maka lebih baik ia pergi
ke tempat lain."
Jawaban
Rasulullah s.a.w. itu memuaskan hati mereka yang mula-mula meragukan
kebijaksanaan Rasulullah s.a.w.. Hal itu hendaknya memuaskan semua orang
masa kini yang berpendapat bahwa dalam Islam hukuman bagi orang murtad
ialah hukum mati. Jika hal itu memang demikian, Rasulullah s.a.w. tentu
akan menuntut dikembalikan dan menghukum mereka yang meninggalkan Islam.
Ternyata apa yang
diambil oleh Rasulullah Saw tersebut menjadi jalan keluar penyelesaian
masalah umat Islam dengan kaum kafirin ketika itu. Hasilnya, sebagaimana
yang kita ketahui, langkah dakwah Islamiyyah mengalami kemajuan secara
bertahap walaupun bukan tanpa tantangan.
Sikap
bijaksana ini pula yang dilakukan oleh Khalifah sesudahnya, Abu Bakar
Ash-Shidiq ketika mengirim delegasi pertama ke negeri Syria (Suriah)
dengan mengatakan,
Hendaklah
kalian bersikap adil. Jangan patahkan keyakinan yang telah kalian
ikrarkan. Jangan memenggal seorang pun. Jangan bunuh anak-anak,
laki-laki atau perempuan. Jangan rusak atau membakar pohon-pohon kurma,
dan jangan tebang pohon-pohon yang menghasilkan buah-buahan. Jangan
bunuh domba-domba, ternak-ternak atau unta-unta, kecuali sekedar untuk
dimakan. Mungkin secara kebetulan kalian akan menemui orang-orang yang
telah mengundurkan diri ke biara-biara, maka biarkanlah mereka dan
kegiatan mereka dalam keadaan yang damai.[6]
Begitu
pula Umar bin Khatab Ra. ketika Islam menyebar menuju wilayah
Bizantium, Persia dan India. Saat itu banyak orang yang beragama Yahudi,
Kristen, Zoroaster, Hindu dan Budha takluk di bawah kekuasaannya. Umar
Amir al-Mu’minin memberi jaminan perlindungan bagi nyawa, keturunan,
kekayaan, gereja dan salib, dan juga bagi orang-orang yang sakit dan
sehat dari semua penganut agama. Gereja mereka tidak akan diduduki,
dirusak atau dirampas. Penduduk Ilia (maksudnya Jerussalem) harus
membayar pajak (jizyah) sebagaimana penduduk lainnya; dan seterusnya. [7]
Piagam
Umar Ra. ternyata terus dilaksanakan dari satu khalifah ke khalifah
lainnya. Umat Islam tetap menjadi juru damai antara Yahudi dan Kristen
serta antara sekte-sekte dalam Kristen ketika itu.
Demikianlah
bukti sejarah yang mencerminkan betapa agungnya ajaran Islam dalam
menghadapi permasalahan konflik dan peperangan. Islam memperlihatkan
kehormatan dan kebesaran namanya sehingga mampu menjembatani sengketa
antar umat pada masa dahulu.
Sikap umat Islam menghadapi penghinaan terhadap agamanya seharusnya dengan mengekspresikan kebencian dengan cara yang tepat (Fillah)
sesuai prosedur yang ditetapkan Allah. Perlakuan mereka yang membenci
Islam dijadikan sebagai bahan kritik membangun untuk kita sebagai umat
yang terhormat dan bermartabat di mata umat lainnya sebagaimana yang
menjadi harapan Allah dan Rasul-Nya.
Lq, 24-9-2012
[1] Huruf Fii [في] yang merupakan salah satu Huruf Jar
dalam bahasa Arab mengandung makna yang dalam, sehingga menurut pakar
tata bahasa Arab dikatakan ‘Apabila struktur bahasa Arab tidak ada huruf
Jar maka Unta bisa berbicara bahasa Arab!’
[2] Yang tampak dari gerakan demonstrasi tersebut adalah mengangkat senjata, melakukan tindakan anarkis, merusak fasilitas umum, mencaci maki hingga adu jotos dengan aparat keamanan (padahal kedua belah pihak adalah sesama muslim). Pembakaran bendera atau atribut Negara tertentu tidak sesuai dengan aturan Islam yang semestinya ditujukan kepada pelaku masalah yang bersangkutan.
وَكَتَبْنَا عَلَيْهِمْ فِيهَا أَنَّ النَّفْسَ بِالنَّفْسِ وَالْعَيْنَ بِالْعَيْنِ وَالْأَنفَ بِالْأَنفِ
وَالْأُذُنَ بِالْأُذُنِ وَالسِّنَّ بِالسِّنِّ وَالْجُرُوحَ قِصَاصٌ
فَمَن تَصَدَّقَ بِهِ فَهُوَ كَفَّارَةٌ لَّهُ وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا
أَنزَلَ اللَّهُ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ ﴿المائدة: ٤٥﴾
Dan
Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya bahwasanya jiwa
(dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga
dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada qishaashnya.
Barangsiapa yang melepaskan (hak qishaash)nya, maka melepaskan hak itu
(menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara
menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang
yang zalim.
[4]
Syekh Abdul Wahab Khalaf mengatakan: “Ayat-ayat yang menyinggung
peperangan di dalam sejumlah surat-surat Al-Quran yang diturunkan di
Mekah dan Madinah pada umumnya menerangkan pembelaan diri dari pada
jihad, yang merupakan salah satu dari dua pilihan, yaitu membela diri
dari serangan atau menghancurkan fitnah (sikap aniaya yang diilhami oleh
prasangka-prasangka terhadap agama). Jadi, dengan perkataan lain Jihad
itu dimaksudkan untuk melindungi misi Islam. ‘Dan perangilah di
jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu
memulai permusuhan, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang
yang memulai permusuhan’ [Q.S. Al-Baqarah: 190]. ‘Dan perangilah
mereka sehingga tidak ada lagi aniaya sedang agama itu semata-mata untuk
Allah. Tetapi jika mereka berhenti, maka sesungguhnya Allah Melihat apa
yang mereka kerjakan’. [Q.S. Al-Anfal: 39] ‘Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya, ...... (39) (yaitu)
orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan
yang benar, kecuali karena mereka berkata: "Tuhan kami hanyalah Allah"
[Q.S. Al-Hajj: 39-40].
[5] Dalam Shahih Al-Bukhari bunyi perjanjian Hudaibiyah adalah sebagai berikut: Dengan
nama Allah. Ini adalah syarat-syarat perdamaian antara Muhammad bin
Abdullah dan Suhail bin Amir, utusan Mekkah. Tidak akan ada perang
selama sepuluh tahun. Siapa pun yang berminat menggabungkan diri kepada
Muhammad dan mengadakan suatu persetujuan dengan dia, bebas berbuat
demikian. Siapa pun yang ingin bergabung dengan kaum Quraisy dan
mengadakan suatu persetujuan dengan mereka, bebas untuk berbuat
demikian. Seorang belia, atau seseorang yang ayahnya masih hidup, jika
ia pergi kepada Muhammad tanpa izin ayahnya atau walinya, akan
dikembalikan kepada ayahnya atau walinya. Tetapi, seseorang yang pergi
kepada kaum Quraisy, ia tidak akan dikembalikan. Pada tahun ini Muhammad
akan kembali tanpa masuk ke Mekkah. Tetapi pada tahun yang akan datang
ia dan para pengikutnya dapat masuk ke Mekkah, tinggal selama tiga hari
dan melakukan thawaf. Selama tiga hari itu kaum Quraisy akan
mengundurkan diri ke bukit-bukit di sekitarnya. Jika Muhammad dan para
pengikutnya masuk ke Mekkah, mereka tidak akan bersenjata kecuali pedang
bersarung yang para musafir di Arabia senantiasa membawa serta (Bukhari).
[6] A.K Brohi dalam kumpulan tulisan Altaf Gauhar, The Challenge of Islam.
[7] Surat Umar bin Khathab itu dikenal dengan al-‘Uhda al-Umariyyah atau Piagam Jerusalem yang mirip dengan piagam Madinah (lihat al-Tabari, Tarikh al-Umam wa al-Muluk; juga History of al-Tabari: The Caliphate of Umar b. al-Khattab Trans. Yohanan Fiedmann, Albany, 1992, p. 191)
7 Permainan Dalam 1 User ID INDOKARTU
BalasHapusSelamat beraktivitas bagi anda semua pengemar game poker online. Disini kami Indokartu memberitahukan bahwa kami menyediakan 7 game yang berbeda yang bisa anda nikmati dalam 1 user ID saja yaitu :
- Poker
- Domino
- Came
- Came Keliling
- Capsa
- Super10
- Omaha
Jadi tunggu apa lagi segera bergabung bersama kami bosku. Kontak kami :
WA : 081333366766
BBM : indkartu
LINE : indokartu
atau langsung di Livechat Indokartu
AGEN JUDI POKER
Hanya S128Cash Bandar Betting Online Terpercaya dengan menggunakan sistem Terbaik untuk memudahkan Anda taruhan Betting Online.
BalasHapusDengan minimal Deposit dan Withdraw hanya Rp 25.000,-
Anda juga dapat melalukan deposit melalui PULSA, OVO dan GOPAY.
Disini menyediakan berbagai permaianan populer, seperti :
- Sportbooks
- Live Casino
- Sabung Ayam Online
- IDN Poker
- Slot Games Online
- Tembak Ikan Online
- Klik4D
Dengan pelanyanan Customer Service berpengalaman kami yang ramah dan cepat dalam proses semua transaksi siap melayani Anda.
Kami juga menyediakan HOT PROMO seperti :
- BONUS NEW MEMBER 10%
- BONUS DEPOSIT SETIAP HARI 5%
- BONUS CASHBACK 10%
- BONUS FREEBET 200rB
- BONUS 7x KEMENANGAN BERUNTUN !!
Untuk layanan atau informasi lebih lanjut bisa hubungi kami melalui :
- Livechat : Live Chat Judi Online
- WhatsApp : 081910053031
Link Alternatif :
- http://www.s128cash.org
Judi Bola
Cara Bermain Judi Bola