Sejarah Nabi Muhammad SAW - Siroh Nabawiyah 2
Sejarah Hidup Nabi Muhammad SAW - sebuah karya siroh nabawiyah dari Muhammad Husain Haekal
BAB II - MEKAH KA'BAH DAN QURAISY
Diposkan oleh ade tp/23-10-2012
Letak Mekah, Ibrahim dan Isma'il,
Kisah Penyembelihan dan Penebusan, Zamzam, Perkawinan Ismail dengan
Jurhum, Pembangunan Ka'bah, Mekah di Bawah Jurhum, Qushayy dan
Anak-anaknya, Mekah di Tangan Qushayy, Hasyim dan Abd'l-Muttalib,
Tugas-tugas Duniawi dan Agama di Mekah, Berziarah ke Mekah, Abdullah bin
Abd'l-Muttalib, Kisah Penebusannya, Kisah Abraha dan Gajah, Catatan
kaki.
Letak Mekah
Di tengah-tengah jalan kafilah yang
berhadapan dengan Laut Merah - antara Yaman dan Palestina - membentang
bukit-bukit barisan sejauh kira-kira delapanpuluh kilometer dari
pantai. Bukit-bukit ini mengelilingi sebuah lembah yang tidak begitu
luas, yang hampir-hampir terkepung sama sekali oleh bukit-bukit itu
kalau tidak dibuka oleh tiga buah jalan: pertama jalan menuju ke Yaman,
yang kedua jalan dekat Laut Merah di pelabuhan Jedah, yang ketiga
jalan yang menuju ke Palestina.
Ibrahim dan Isma'il
Dalam
lembah yang terkepung oleh bukit-bukit itulah terletak Mekah. Untuk
mengetahui sejarah dibangunnya kota ini sungguh sukar sekali. Mungkin
sekali ia bertolak ke masa ribuan tahun yang lalu. Yang pasti, lembah
itu digunakan sebagai tempat perhentian kafilah sambil beristirahat,
karena di tempat itu terdapat sumber mata air. Dengan demikian
rombongan kafilah itu membentangkan kemah-kemah mereka, baik yang
datang dari jurusan Yaman menuju Palestina atau yang datang dari
Palestina menuju Yaman. Mungkin sekali Ismail anak Ibrahim itu orang
pertama yang menjadikannya sebagai tempat tinggal, yang sebelum itu
hanya dijadikan tempat kafilah lalu saja dan tempat perdagangan secara
tukar-menukar antara yang datang dari arah selatan jazirah dengan yang
bertolak dari arah utara.
Kalau Ismail adalah orang pertama yang
menjadikan Mekah sebagai tempat tinggal, maka sejarah tempat ini
sebelum itu gelap sekali. Mungkin dapat juga dikatakan, bahwa daerah
ini dipakai tempat ibadat juga sebelum Ismail datang dan menetap di
tempat itu. Kisah kedatangannya ke tempat itupun memaksa kita membawa
kisah Ibrahim a.s. secara ringkas.
Ibrahim dilahirkan di Irak (Chaldea) dari
ayah seorang tukang kayu pembuat patung. Patung-patung itu kemudian
dijual kepada masyarakatnya sendiri, lalu disembah. Sesudah ia remaja
betapa ia melihat patung-patung yang dibuat oleh ayahnya itu kemudian
disembah oleh masyarakat dan betapa pula mereka memberikan rasa hormat
dan kudus kepada sekeping kayu yang pernah dikerjakan ayahnya itu. Rasa
syak mulai timbul dalam hatinya. Kepada ayahnya ia pernah bertanya,
bagaimana hasil kerajinan tangannya itu sampai disembah orang?
Kemudian Ibrahim menceritakan hal itu
kepada orang lain. Ayahnyapun sangat memperhatikan tingkah-laku anaknya
itu; karena ia kuatir hal ini akan rnenghancurkan perdagangannya.
Ibrahim sendiri orang yang percaya kepada akal pikirannya. Ia ingin
membuktikan kebenaran pendapatnya itu dengan alasan-alasan yang dapat
diterima. Ia mengambil kesempatan ketika orang sedang lengah. Ia pergi
menghampiri sang dewa, dan berhala itu dihancurkan, kecuali berhala
yang paling besar. Setelah diketahui orang, mereka berkata kepadanya:
"Engkaukah yang melakukan itu terhadap
dewa-dewa kami, hai Ibrahim?" Dia menjawab: "Tidak. Itu dilakukan oleh
yang paling besar diantara mereka. Tanyakanlah kepada mereka, kalau
memang mereka bisa bicara." (Qur'an, 21: 62-63)
Ibrahim melakukan itu sesudah ia memikirkan
betapa sesatnya mereka menyembah berhala, sebaliknya siapa yang
seharusnya mereka sembah.
"Bila malam sudah gelap, dilihatnya sebuah
bintang. Ia berkata: Inilah Tuhanku. Tetapi bilamana bintang itu
kemudian terbenam, iapun berkata: 'Aku tidak menyukai segala yang
terbenam.' Dan setelah dilihatnya bulan terbit, iapun berkata: 'Inilah
Tuhanku.' Tetapi bilamana bulan itu kemudian terbenam, iapun berkata:
'Kalau Tuhan tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku akan jadi
sesat.' Dan setelah dilihatnya matahari terbit, iapun berkata: 'Ini
Tuhanku. Ini yang lebih besar.' Tetapi bilamana matahari itu juga
kemudian terbenam, iapun berkata: 'Oh kaumku. Aku lepas tangan terhadap
apa yang kamu persekutukan itu. Aku mengarahkan wajahku hanya kepada
yang telah menciptakan semesta langit dan bumi ini. Aku tidak termasuk
mereka yang mempersekutukan Tuhan." (Qur'an 6: 76-79)
Ibrahim tidak berhasil mengajak
masyarakatnya itu. Malah sebagai balasan ia dicampakkan ke dalam api.
Tetapi Tuhan masih menyelamatkannya. Ia lari ke Palestina bersama
isterinya Sarah. Dari Palestina mereka meneruskan perjalanan ke Mesir.
Pada waktu itu Mesir di bawah kekuasaan raja-raja Amalekit (Hyksos).
Sarah adalah seorang wanita cantik. Pada
waktu itu raja-raja Hyksos biasa mengambil wanita-wanita bersuami yang
cantik-cantik. Ibrahim memperlihatkan, seolah Sarah adalah saudaranya.
Ia takut dibunuh dan Sarah akan diperisterikan raja. Dan raja memang
bermaksud akan memperisterikannya. Tetapi dalam tidurnya ia bermimpi
bahwa Sarah bersuami. Kemudian dikembalikan kepada Ibrahim sambil
dimarahi. Ia diberi beberapa hadiah di antaranya seorang gadis belian
bernama Hajar- Oleh karena Sarah sesudah bertahun-tahun dengan Ibrahim
belum juga beroleh keturunan, maka oleh Sarah disuruhnya ia bergaul
dengan Hajar, yang tidak lama kemudian telah beroleh anak, yaitu
Ismail. Sesudah Ismail besar kemudian Sarahpun beroleh keturunan, yaitu
Ishaq.
Kisah Penyembelihan dan Penebusan
Beberapa
ahli berselisih pendapat tentang penyembelihan Ismail serta kurban
yang telah dipersembahkan oleh Ibrahim. Adakah sebelum kelahiran Ishaq
atau sesudahnya? Adakah itu terjadi di Palestina atau di Hijaz?
Ahli-ahli sejarah Yahudi berpendapat, bahwa yang disembelih itu adalah
Ishaq, bukan Ismail. Di sini kita bukan akan menguji adanya
perselisihan pendapat itu. Dalam Qishash'l-Anbia' Syaikh Abd'l Wahhab
an-Najjar berpendapat, bahwa yang disembelih itu adalah Ismail.
Argumentasi ini diambilnya dari Taurat sendiri bahwa yang disembelih
itu dilukiskan sebagai anak Ibrahim satu-satunya. Pada waktu itu Ismail
adalah anak satu-satunya sebelum Ishaq dilahirkan. Setelah Sarah
melahirkan, maka anak Ibrahim tidak lagi tunggal, melainkan sudah ada
Ismail dan Ishaq. Dengan mengambil cerita itu seharusnya kisah
penyembelihan dan penebusan itu terjadi di Palestina. Hal ini memang
bisa terjadi demikian kalau yang dimaksudkan itu terjadi terhadap diri
Ishaq. Selama itu Ishaq dengan ibunya hanya tinggal di Palestina, tidak
pernah pergi ke Hijaz. Akan tetapi cerita yang mengatakan bahwa
penyembelihan dan penebusan itu terjadi di atas bukit Mina, maka ini
tentu berlaku terhadap diri Ismail. Oleh karena di dalam Qur'an tidak
disebutkan nama person korban itu, maka ahli-ahli sejarah kaum Muslimin
berlain-lainan pendapat.
Tentang pengorbanan dan penebusan itu
kisahnya ialah bahwa Ibrahim bermimpi, bahwasanya Tuhan memerintahkan
kepadanya supaya anaknya itu dipersembahkan sebagai kurban dengan
menyembelihnya. Pada suatu pagi berangkatlah ia dengan anaknya. "Bila
ia sudah mencapai usia cukup untuk berusaha, ia (Ibrahim) berkata: 'O
anakku, dalam tidur aku bermimpi, bahwa aku menyembelihmu. Lihatlah,
bagaimanakah pendapatmu?' Ia menjawab: 'Wahai ayahku. Lakukanlah apa
yang diperintahkan kepadamu. Jika dikehendaki Tuhan, akan kaudapati aku
dalam kesabaran.' Setelah keduanya menyerahkan diri dan dibaringkannya
ke sebelah keningnya, ia Kami panggil: 'Hai Ibrahim. Engkau telah
melaksanakan mimpi itu.' Dengan begitu, Kami memberikan balasan kepada
mereka yang berbuat kebaikan. Ini adalah suatu ujian yang nyata. Dan
kami menebusnya dengan sebuah kurban besar." (Qur'an, 37: 103-107)
Beberapa cerita melukiskan kisah ini dalam
bentuk puisi yang indah sekali, sehingga di sini perlu kita kemukakan,
sekalipun tidak membawa kisah tentang Mekah. Kisahnya, setelah Ibrahim
bermimpi dalam tidurnya bahwa ia harus menyembelih anaknya dan
memastikan bahwa itu adalah perintah Tuhan, ia berkata kepada anaknya
itu: 'Anakku, bawalah tali dan parang itu, mari kita pergi ke bukit
mencari kayu untuk keluarga kita.' Anak itupun menurut perintah
ayahnya. Ketika itu datang setan dalam bentuk seorang laki-laki,
mendatangi ibu anak itu seraya berkata: 'Tahukah engkau ke mana Ibrahim
membawa anakmu?' 'Ia pergi mencari kayu dari lereng bukit itu,' jawab
ibunya. 'Tidak,' kata setan lagi, 'ia pergi akan menyembelihnya.' Ibu
itu menjawab lagi: 'Tidak. Ia lebih sayang kepada anaknya.' 'Ia
mendakwakan bahwa Tuhan yang memerintahkan itu.'
'Kalau itu memang perintah Tuhan biarkan
dia menaati perintahNya,' jawab ibu itu. Setan itu lalu pergi dengan
perasaan kecewa. Ia segera menyusul anak yang sedang mengikuti ayahnya
itu. Kepada anak itupun ia berkata seperti terhadap ibunya tadi. Tapi
jawabannyapun sama dengan jawaban ibunya juga. Kemudian setan
mendatangi Ibrahim dan mengatakan, bahwa mimpinya itu hanya
tipu-muslihat setan supaya ia menyembelih anaknya dan akhirnya akan
menyesal. Tetapi oleh Ibrahim ia ditinggalkan dan dilaknatnya. Dengan
rasa jengkel Iblis itu mundur teratur, karena maksudnya tidak berhasil,
baik dari Ibrahim, dari isterinya atau dari anaknya.
Kemudian itu Ibrahim menyatakan kepada
anaknya tentang mimpinya itu dan minta pendapatnya. 'Ayah, lakukanlah
apa yang diperintahkan.' Lalu katanya lagi dalam ballada itu: 'Ayah,
kalau ayah akan menyembelihku, kuatkanlah ikatan itu supaya darahku
nanti tidak kena ayah dan akan mengurangi pahalaku. Aku tidak menjamin
bahwa aku takkan gelisah bila dilaksanakan. Tajamkanlah parang itu
supaya dapat sekaligus memotongku. Bila ayah sudah merebahkan aku untuk
disembelih, telungkupkan aku dan jangan dimiringkan. Aku kuatir bila
ayah kelak melihat wajahku ayah akan jadi lemah, sehingga akan
menghalangi maksud ayah melaksanakan perintah Tuhan itu. Kalau ayah
berpendapat akan membawa bajuku ini kepada ibu kalau-kalau menjadi
hiburan baginya, lakukanlah, ayah.'
'Anakku,' kata Ibrahim, 'ini adalah bantuan besar dalam melaksanakan perintah Allah.'
Kemudian ia siap melaksanakan. Diikatnya
kuat-kuat tangan anak itu lalu dibaringkan keningnya untuk disembelih.
Tetapi kemudian ia dipanggil: 'Hai Ibrahim! Engkau telah melaksanakan
mimpi itu.' Anak itu kemudian ditebusnya dengan seekor domba besar yang
terdapat tidak jauh dari tempat itu. Lalu disembelihnya dan
dibakarnya.
Demikianlah kisah penyembelihan dan penebusan itu. Ini adalah kisah penyerahan secara keseluruhan kepada kehendak Allah.
Ishaq telah menjadi besar di samping
Ismail. Kasih-sayang ayah sama terhadap keduanya. Akan tetapi Sarah
menjadi gusar melihat anaknya itu dipersamakan dengan anak Hajar
dayangnya itu. Ia bersumpah tidak akan tinggal bersama-sama dengan
Hajar dan anaknya tatkala dilihatnya Ismail memukul adiknya itu.
Ibrahim merasa bahwa hidupnya takkan bahagia kalau kedua wanita itu
tinggal dalam satu tempat. Oleh karena itu pergilah ia dengan Hajar dan
anak itu menuju ke arah selatan. Mereka sampai ke suatu lembah, letak
Mekah yang sekarang. Seperti kita sebutkan di atas, lembah ini adalah
tempat para kafilah membentangkan kemahnya pada waktu mereka berpapasan
dengan kafilah dari Syam ke Yaman, atau dari Yaman ke Syam. Tetapi
pada waktu itu adalah saat yang paling sepi sepanjang tahun. Ismail dan
ibunya oleh Ibrahim ditinggalkan dan ditinggalkannya pula segala
keperluannya. Hajar membuat sebuah gubuk tempat ia berteduh dengan
anaknya. Dan Ibrahimpun kembali ke tempat semula.
Zamzam
Sesudah
kehabisan air dan perbekalan, Hajar melihat ke kanan kiri. Ia tidak
melihat sesuatu. Ia terus berlari dan turun ke lembah mencari air.
Dalam berlari-lari itu - menurut cerita orang - antara Shafa dan Marwa,
sampai lengkap tujuh kali, ia kembali kepada anaknya dengan membawa
perasaan putus asa. Tetapi ketika itu dilihatnya anaknya sedang
mengorek-ngorek tanah dengan kaki, yang kemudian dari dalam tanah itu
keluar air. Dia dan Ismail dapat melepaskan dahaga. Disumbatnya mata
air itu supaya jangan mengalir terus dan menyerap ke dalam pasir.
Anak yang bersama ibunya itu membantu
orang-orang Arab yang sedang dalam perjalanan, dan merekapun mendapat
imbalan yang akan cukup menjamin hidup mereka sampai pada musim kafilah
yang akan datang.
Mata air yang memancar
dari sumur Zamzam itu menarik hati beberapa kabilah akan tinggal di
dekat tempat itu. Beberapa keterangan mengatakan, bahwa kabilah Jurhum
adalah yang pertama sekali tinggal di tempat itu, sebelum datang Hajar
dan anaknya. Sementara yang lain berpendapat, bahwa mereka tinggal di
tempat itu setelah adanya sumber sumur Zamzam, sehingga memungkinkan
mereka hidup di lembah gersang itu.
Perkawinan Ismail dengan Jurhum
Ismail
sudah semakin besar, dan kemudian ia kawin dengan gadis kabilah
Jurhum. Ia dengan isterinya tinggal bersama-sama keluarga Jurhum yang
lain. Di tempat itu rumah suci sudah dibangun, yang kemudian berdiri
pula Mekah sekitar tempat itu.
Juga disebutkan bahwa pada suatu hari
Ibrahim minta ijin kepada Sarah akan mengunjungi Ismail dan ibunya.
Permintaan ini disetujui dan ia pergi. Setelah ia mencari dan menemui
rumah Ismail ia bertanya kepada isterinya: "Mana suamimu?"
"Ia sedang berburu untuk hidup kami," jawabnya.
Kemudian ditanya lagi, dapatkah ia menjamu makanan atau minuman, dijawab bahwa dia tidak mempunyai apa-apa untuk dihidangkan.
Ibrahim pergi, setelah mengatakan: "Kalau suamimu datang sampaikan salamku dan katakan kepadanya: "Ganti ambang pintumu."
Setelah pesan ayahnya itu kemudian
disampaikan kepada Ismail, ia segera menceraikan isterinya, dan
kemudian kawin lagi dengan wanita Jurhum lainnya, puteri Mudzadz bin
'Amr. Wanita ini telah menyambut Ibrahim dengan baik setelah beberapa
waktu kemudian ia pernah datang. "Sekarang ambang pintu rumahmu sudah
kuat," (kata Ibrahim).
Dari perkawinan ini Ismail mempunyai
duabelas orang anak, dan mereka inilah yang menjadi cikal-bakal Arab
al-Musta'-riba, yakni orang-orang Arab yang bertemu dari pihak ibu pada
Jurhum dengan Arab al-'Ariba keturunan Ya'rub ibn Qahtan. Sedang ayah
mereka, Ismail anak Ibrahim, dari pihak ibunya erat sekali bertalian
dengan Mesir, dan dari pihak bapa dengan Irak (Mesopotamia) dan
Palestina, atau kemana saja Ibrahim menginjakkan kaki.
Pembangunan Ka'bah
Cerita
ini diambil dari sejarah yang hampir merupakan konsensus dalam garis
besarnya tentang kepergian Ibrahim dan Ismail ke Mekah, meskipun
terdapat perbedaan dalam detail. Dan yang memajukan kritik atas
peristiwa secara mendetail itu berpendapat, bahwa Hajar dan Ismail telah
pergi ke lembah yang sekarang terletak Mekah itu dan bahwa di tempat
itu terdapat mata air yang ditempati oleh kabilah Jurhum. Hajar
disambut dengan senang hati oleh mereka ketika ia datang bersama
Ibrahim dan anaknya ke tempat itu. Sesudah Ismail besar ia kawin dengan
wanita Jurhum dan mempunyai beberapa orang anak. Dari percampuran
perkawinan antara Ismail dengan unsur-unsur Ibrani-Mesir di satu pihak
dan unsur Arab di pihak lain, menyebabkan keturunannya itu membawa
sifat-sifat Arab, Ibrani dan Mesir. Mengenai sumber yang mengatakan
tentang Hajar yang kebingungan setelah melihat air yang habis menyerap
serta tentang usahanya berlari tujuh kali dari Shafa dan Marwa dan
tentang sumur Zamzam dan bagaimana air menyembur, oleh mereka masih
diragukan.
Sebaliknya William Muir menyangsikan
kepergian Ibrahim dan Ismail itu ke Hijaz dan ia menolak dasar cerita
itu. Dikatakannya, bahwa itu adalah Israiliat (Yudaica) yang
dibuat-buat orang Yahudi beberapa generasi sebelum Islam, guna mengikat
hubungan dengan orang Arab yang sama-sama sebapa dengan lbrahim, kalau
Ishaq itu yang menjadi nenek-moyang orang Yahudi. Jadi apabila
saudaranya, Ismail itu moyang orang Arab, maka mereka adalah saudara
sepupu yang akan menjadi kewajiban orang Arab pula menerima baik emigran
orang-orang Yahudi ke tengah-tengah mereka, dan akan memudahkan
perdagangan orang Yahudi di seluruh jazirah Arab. Pengarang Inggris ini
mendasarkan pendapatnya pada cara-cara peribadatan di negeri-negeri
Arab yang tak ada hubungannya dengan agama Ibrahim, sebab mereka sudah
benar-benar hanyut dalam paganisma, sedang agama Ibrahim agama murni.
Kita tidak melihat bahwa argumentasi
demikian itu sudah cukup kuat untuk menghilangkan kenyataan sejarah.
Jauh beberapa abad sesudah meninggalnya Ibrahim dan Ismail paganisma
Arab tidak menunjukkan bahwa mereka memang sudah demikian tatkala
Ibrahim datang ke Hijaz dan tatkala ia dan Ismail bersama-sama
membangun Ka'bah. Andaikata waktu itu paganisma sudah ada, tentu itu
akan memperkuat pendapat Sir William Muir. Masyarakat Ibrahim sendiri
waktu itu menyembah berhala dan ia berusaha mengajak mereka ke jalan
yang benar, tapi tidak berhasil. Apabila ia mengajak masyarakat Arab
seperti mengajak masyarakatnya sendiri, lalu tidak berhasil, dan
orang-orang Arab itu tetap menyembah berhala, tentu hal itu tidak
sesuai dengan kepergian Ibrahim dan Ismail ke Mekah. Keterangan sejarah
itu secara logika bahkan lebih kuat. Ibrahim yang telah keluar dari
Irak karena mau menghindar dari keluarganya, ia pergi ke Palestina dan
Mesir, adalah orang yang mudah bepergian dan biasa mengarungi sahara.
Sedang jalan antara Palestina dan Mekah sejak dahulu kala sudah
merupakan lalu-lintas terbuka bagi para kafilah. Dengan demikian tidak
pula pada tempatnya orang meragukan kenyataan sejarah yang dalam garis
besamya sudah menjadi konsensus itu.
Sir William Muir dan mereka yang menunjang
pendapatnya itu mengatakan tentang kemungkinan adanya segolongan
anak-anak Ibrahim dan Ismail sesudah itu yang pindah dari Palestina ke
negeri-negeri Arab serta adanya pertalian mereka dalam arti hubungan
darah. Kita tidak mengerti, kalau kemungkinan mengenai anak-anak
Ibrahim dan Ismail ini bagi mereka dapat diterima, sedang kemungkinan
mengenai kedua orang itu sendiri tidak! Bagaimana akan dikatakan belum
dapat dipastikan padahal peristiwa sejarah sudah memperkuatnya.
Bagaimana pula takkan terjadi padahal sumbernya sudah tak dapat
diragukan lagi dan sudah disebutkan dalam Quran dan dibicarakan juga
dalam kitab-kitab suci lainnya!
Ibrahim dan Ismail lalu mengangkat
sendi-sendi Rumah Suci itu. "Bahwa rumah pertama dibuat untuk manusia
beribadat ialah yang di Mekah itu, sudah diberi berkah dan bimbingan
bagi semesta alam. Disitulah terdapat keterangan-keterangan yang jelas
sebagai Maqam (tempat) Ibrahim; barangsiapa memasukinya menjadi aman."
(Qur'an, 3: 96-97)
"Dan ingatlah, Kami jadikan Rumah itu
tempat berkumpul bagi manusia dan tempat yang aman. Dan jadikanlah
Maqam Ibrahim itu tempat bersembahyang, dan kami serahkan kepada
Ibrahim dan Ismail menyucikan RumahKu bagi mereka yang bertawaf, mereka
yang tinggal menetap dan mereka yang ruku' dan sujud. Dan ingatlah
tatkala Ibrahim berkata: 'Tuhanku, jadikan tempat ini Kota yang aman
dan berikanlah buah-buahan kepada penduduknya, mereka yang beriman
kepada Allah dan Hari Kemudian.' Ia berkata: 'Dan bagi barang siapa yang
menolak iman akan Kuberi juga kesenangan sementara, kemudian Kutarik
ia ke dalam siksa api, tujuan yang paling celaka. Dan ingatlah tatkala
Ibrahim dan Ismail mengangkat sendi-sendi Rumah Suci itu (mereka
berdoa): 'Tuhan, terimalah ini dari kami. Sesungguhnyalah Engkau Maha
mendengar, Maha mengetahui." (Qur'an, 2: 125-127)
Bagaimana Ibrahim mendirikan Rumah itu
sebagai tempat tujuan dan tempat yang aman, untuk mengantarkan manusia
supaya beriman hanya kepada Allah Yang Tunggal lalu kemudian menjadi
tempat berhala dan pusat penyembahannya? Dan bagaimana pula cara-cara
peribadatan itu dilakukan sesudah lbrahim dan Ismail, dan dalam bentuk
bagaimana pula dilakukan? Dan sejak kapan cara-cara itu berubah lalu
dikuasi oleh paganisma? Hal ini tidak diceritakan kepada kita oleh
sejarah yang kita kenal. Semua itu baru merupakan dugaan-dugaan yang
sudah dianggap sebagai suatu kenyataan. Kaum Sabian1 yang menyembah
bintang mempunyai pengaruh besar di tanah Arab. Pada mulanya mereka -
menurut beberapa keterangan - tidak menyembah bintang itu sendiri,
melainkan hanya menyembah Allah dan mereka mengagungkan bintang-bintang
itu sebagai ciptaan dan manifestasi kebesaranNya. Oleh karena lebih
banyak yang tidak dapat memahami arti ketuhanan yang lebih tinggi, maka
diartikannya bintang-bintang itu sebagai tuhan. Beberapa macam batu
gunung dikhayalkan sebagai benda yang jatuh dan langit, berasal dan
beberapa macam bintang. Dari situ mula-mula manifestasi tuhan itu
diartikan dan dikuduskan, kemudian batu-batu itu yang disembah,
kemudian penyembahan itu dianggap begitu agung, sehingga tidak cukup
bagi seorang orang Arab hanya menyembah hajar aswad (batu hitam) yang
di dalam Ka'bah, bahkan dalam setiap perjalanan ia mengambil batu apa
saja dari Ka'bah untuk disembah dan dimintai persetujuannya: akan
tinggal ataukah akan melakukan perjalanan. Mereka melakukan cara-cara
peribadatan yang berlaku bagi bintang-bintang atau bagi pencipta
bintang-bintang itu. Dengan cara-cara demikian menjadi kuatlah
kepercayaan paganisma itu, patung-patung dikuduskan dan dibawanya
sesajen-sesajen untuk itu sebagai kurban.
Ini adalah suatu gambaran tentang
perkembangan agama itu di tanah Arab sejak Ibrahim membangun rumah
sebagai tempat beribadat kepada Tuhan, sebagaimana dilukiskan oleh
beberapa ahli sejarah dan bagaimana pula hal itu kemudian berbalik dan
menjadi pusat berhala. Herodotus, bapa sejarah, menerangkan tentang
penyembahan Lat itu di negeri Arab. Demikian juga Diodorus Siculus
menyebutkan tentang rumah di Mekah yang diagungkan itu. Ini menunjukkan
tentang paganisma yang sudah begitu tua di jazirah Arab dan bahwa agama
yang dibawa Ibrahim di sana bertahan tidak begitu lama.
Dalam abad-abad itu sudah datang pula para
nabi yang mengajak kabilah-kabilah jazirah itu supaya menyembah Allah
semata-mata. Tetapi mereka menolak dan tetap bertahan pada paganisma.
Datang Hud mengajak kaum 'Ad yang tinggal di sebelah utara Hadzramaut
supaya menyembah hanya kepada Allah; tapi hanya sebagian kecil saja
yang ikut. Sedang yang sebagian besar malah menyombongkan diri dan
berkata: "O Hud, kau datang tidak membawa keterangan yang jelas, dan
kami tidak akan meninggalkan tuhan-tuhan kami hanya karena perkataanmu
itu. Kami tidak percaya kepadamu." (Qur'an, 11: 53) Bertahun-tahun
lamanya Hud mengajak mereka. Hasilnya malah mereka bertambah buas dan
congkak. Demikian juga Saleh datang mengajak kaum Thamud supaya
beriman. Mereka ini tinggal di Hijr yang terletak antara Hijaz dengan
Syam di Wadi'l-Qura ke arah timur daya dari Mad-yan (Midian) dekat
Teluk 'Aqaba. Sama saja, hasil ajakan Saleh itu tidak lebih seperti
ajakan Hud juga. Kemudian datang Syu'aib kepada bangsa Mad-yan yang
terletak di Hijaz, mengajak supaya mereka menyembah Allah. Juga tidak
didengar Merekapun mengalami kehancuran seperti yang terjadi terhadap
golongan 'Ad dan Thamud.
Selain para nabi itu juga Qur'an telah
menceritakan tentang ajakan mereka supaya menyembah Allah yang Esa.
Sikap golongan itu begitu sombong. Mereka tetap bersikeras hendak
menyembah berhala dan bermohon kepada berhala-berhala dalam Ka'bah itu.
Mereka berziarah ke tempat itu setiap tahun; mereka datang dari
segenap pelosok jazirah Arab. Dalam hal ini turun firman Tuhan: "Dan
Kami tidak akan mengadakan siksaan sebelum Kami mengutus seorang
rasul."(Qur'an 17: 15)
Sejak didirikannya Mekah di tempat itu
sudah ada jabatan-jabatan penting seperti yang dipegang oleh Qushayy
bin Kilab pada pertengahan abad kelima Masehi. Pada waktu itu para
pemuka Mekah berkumpul. Jabatan-jabatan hijaba, siqaya, rifada, nadwa,
liwa' dan qiyada dipegang semua oleh Qushay. Hijaba ialah penjaga pintu
Ka'bah atau yang memegang kuncinya. Siqaya ialah menyediakan air tawar
- yang sangat sulit waktu itu bagi mereka yang datang berziarah serta
menyediakan minuman keras yang dibuat dari kurma. Rifada ialah memberi
makan kepada mereka semua. Nadwa ialah pimpinan rapat pada tiap tahun
musim. Liwa' ialah panji yang dipancangkan pada tombak lalu ditancapkan
sebagai lambang tentara yang sedang menghadapi musuh, dan qiyada ialah
pimpinan pasukan bila menuju perang. Jabatan-jabatan demikian itu di
Mekah sangat terpandang. Dalam masalah ibadat seolah pandangan
orang-orang Arab semua tertuju ke Ka'bah itu.
Saya kira semua itu datangnya bukan
sekaligus ketika rumah itu dibangun, melainkan satu demi satu, pada
satu pihak tak ada hubungannya satu sama lain dengan Ka'bah serta
kedudukannya dalam arti agama, di pihak lain sedikit banyak memang ada
juga hubungannya.
Mekah di Bawah Jurhum
Tatkala
Ka'bah dibangun menurut gambaran yang ada dalam khayal kita - tidak
lebih Mekah hanya terdiri dari kabilah-kabilah Amalekit dan Jurhum.
Sesudah Ismail menetap di sana dan bersama-sama dengan ayahnya memasang
sendi-sendi rumah itu, barulah Mekah mengalami perkembangan. Untuk
beberapa waktu yang cukup lama kemudian ia menjadi sebuah kota atau
yang menyerupai kota. Kita katakan menyerupai kota, karena Mekah dengan
penduduknya waktu itu masih membawa sifat sisa-sisa keterbelakangan
dalam arti yang sangat bersahaja. Beberapa penulis sejarah tidak
keberatan dalam menyebutkan, bahwa Mekah itu masih terbelakang sebelum
semua urusan berada di tangan Qushayy pada pertengahan abad kelima
Masehi itu. Sukar bagi kita akan dapat membayangkan suatu daerah
seperti Mekah dengan Rumah Purbanya yang dianggap suci itu akan tetap
berada dalam suasana hidup pengembaraan. Padahal sejarah membuktikan
bahwa persoalan Rumah Suci itu berada di tangan Ismail dalam lingkungan
keluarga Jurhum selama beberapa generasi kemudian. Mereka tinggal di
sekitar tempat itu, di samping Mekah masa itu memang tempat pertemuan
kafilah-kafilah dalam perjalanan ke Yaman, Hira, Syam dan Najd. Juga
hubungannya dengan Laut Merah yang tidak jauh dari tempat itu merupakan
hubungan langsung dengan perdagangan dunia. Sukar akan dapat
dibayangkan adanya suatu daerah dalam keadaan demikian itu akan tetap
tanpa ada pendekatan dari dunia lain dari segi peradabannya. Beralasan
sekali dugaan kita, bahwa Mekah, yang sudah didoakan oleh Ibrahim dan
ditetapkan Allah akan menjadi suatu daerah yang aman sentosa, sudah
mengenal hidup stabil selama beberapa generasi sebelum Qushayy.
Meskipun sudah dikalahkan oleh Amalekit,
Mekah masih di tangan Jurhum sampai pada masa Mudzadz bin 'Amr ibn
Harith. Selama dalam masa generasi ini perdagangan Mekah mengalami
perkembangan yang pesat sekali di bawah kekuasaan orang-orang yang
biasa hidup mewah, sehingga mereka lupa bahwa mereka berada di tanah
tandus dan bahwa mereka perlu selalu berusaha dan selalu waspada.
Demikian lalainya mereka itu sehingga Zamzam menjadi kering dan pihak
kabilah Khuza'a merasa perlu memikirkan akan turut terjun memegang
pimpinan di tanah suci itu.
Peringatan Mudzadz kepada masyarakatnya
tentang akibat hidup berfoya-foya, tidak berhasil. Ia yakin sekali
bahwa hal ini akan menghanyutkan mereka semua. Kemudian ia berusaha
menggali Zamzam lebih dalam lagi. Diambilnya dua buah pangkal pelana
emas dari dalam Ka'bah beserta harta yang dibawa orang sebagai sesajen
ke dalam Rumah Suci itu. Dimasukkannya semua itu ke dalam dasar sumur,
sedang pasir yang masih ada di dalamnya dikeluarkan, dengan harapan pada
suatu waktu ia akan menemukannya kembali. Ia keluar dengan anak-anak
Ismail dari Mekah. Kekuasaan sesudah itu dipegang oleh Khuza'a.
Demikian seterusnya turun-temurun sampai kepada Qushayy bin Kilab,
nenek (kakek) Nabi Muhammad yang kelima.
Fatimah bint Sa'd bin Sahl kawin dengan
Kilab dan mempunyai anak bernama Zuhra dan Qushayy. Kilab meninggal
dunia ketika Qushayy masih bayi. Kemudian Fatimah kawin lagi dengan
Rabi'a bin Haram. Kemudian mereka pergi ke Syam dan di sana Fatimah
melahirkan Darraj. Qushayy semakin besar juga dan ia hanya mengenal
Rabi'a sebagai ayahnya. Lambat-laun antara Qushayy dengan pihak kabilah
Rabi'a terjadi permusuhan. Ia dihina dan dikatakan berada di bawah
perlindungan mereka, padahal bukan dari pihak mereka Qushayy mengadukan
penghinaan itu kepada ibunya.
"Ayahmu lebih mulia dari mereka," kata
ibunya kepada Qushayy. "Engkau anak Kilab bin Murra, dan keluargamu di
Mekah menempati Rumah Suci."
Qushayy lalu pergi ke Mekah, dan menetap di
sana. Karena pandangannya yang baik dan mempunyai kesungguhan,
orang-orang di Mekah sangat menghormatinya. Pada waktu itu pengawasan
Rumah Suci di tangan Hulail bin Hubsyia - orang yang berpandangan tajam
dari kabilah Khuza'a. Tatkala Qushayy melamar puterinya, Hubba,
ternyata lamarannya diterima baik dan kawinlah mereka. Qushayy terus
maju dalam usaha dan perdagangannya, yang membuat ia jadi kaya, harta
dan anak-anaknya pun banyak pula. Di kalangan masyarakatnya ia makin
terpandang. Hulail meninggal dengan meninggalkan wasiat supaya kunci
Rumah Suci di tangan Hubba puterinya. Tetapi Hubba menolak dan kunci
itu dipegang oleh Abu Ghibsyan dari kabilah Khuza'a. Tetapi Abu
Ghibsyan ini seorang pemabuk. Ketika pada suatu hari ia kehabisan
minuman keras kunci itu dijualnya kepada Qushayy dengan cara menukarnya
dengan minuman keras.
Khuza'a sudah memperhitungkan betapa
kedudukannya nanti bila pimpinan Ka'bah itu berada di tangan Qushayy
sebagai orang yang banyak hartanya dan orang yang mulai berpengaruh di
kalangan Quraisy. Mereka merasa keberatan bilamana masalah pimpinan
Rumah Suci berada di tangan pihak lain selain mereka sendiri. Pada
waktu Qushayy meminta bantuan Quraisy, beberapa kabilah memang sudah
berpendapat bahwa dialah penduduk yang paling kuat dan sangat dihargai
di Mekah. Mereka mendukung Qushayy dan berhasil mengeluarkan Khuza'a
dari Mekah. Sekarang seluruh pimpinan Rumah Suci itu sudah di tangan
Qushayy dan dia diakui sebagai pemimpin mereka.
Qushayy dan Anak-anaknya
Seperti
sudah kita kemukakan, beberapa orang berpendapat, bahwa sampai pada
waktu pimpinan Mekah berada di tangan Qushayy, bangunan apapun belum
ada di tempat itu, selain Ka bah. Alasannya ialah, karena baik Khuza'a
atau Jurhum tidak ingin melihat ada bangunan lain di sekitar Rumah Tuhan
itu, juga karena pada malam hari mereka tidak pernah tinggal di tempat
itu, melainkan pergi ke tempat-tempat terbuka. Ditambahkan pula bahwa
setelah Qushayy memegang pimpinan Mekah ia mengumpulkan Quraisy dan
menyuruh mereka membangun di tempat itu. Dengan dipelopori oleh Qushayy
sendiri dibangunnya Dar'n-Nadwa sebagai tempat pertemuan
pembesar-pembesar Mekah yang dipimpin oleh Qushayy sendiri. Di tempat
ini mereka bermusyawarah mengenai masalah-masalah negeri itu. Menurut
kebiasaan mereka, setiap persoalan yang mereka hadapi selalu
diselesaikan dengan persetujuan bersama. Baik wanita atau laki-laki
yang akan melangsungkan perkawinan harus di tempat ini pula.
Dengan perintah Qushayy orang-orang Quraisy
lalu membangun tempat-tempat tinggal mereka di sekitar Ka'bah itu,
dengan meluangkan tempat yang cukup luas untuk mengadakan tawaf sekitar
Rumah itu dan pada setiap dua rumah disediakan jalan yang menembus ke
tempat tawaf tersebut.
Anak Qushayy yang tertua ialah Abd'd-Dar.
Akan tetapi Abd Manaf adiknya, sudah lebih dulu tampil ke depan umum
dan sudah mendapat tempat pula.
Mekah di Tangan Qushayy
Sesudah
usianya makin lanjut, kekuatannyapun sudah berkurang dan sudah tidak
kuat lagi ia mengurus Mekah sebagaimana mestinya, kunci Rumah itupun
diserahkannya kepada Abd'd-Dar, demikian juga soal air minum, panji dan
persediaan makanan. Setiap tahun Quraisy memberikan sumbangan dari
harta mereka yang diserahkannya kepada Qushayy guna membuatkan makanan
pada musim ziarah. Makanan ini kemudian diberikan kepada mereka yang
datang tidak dalam kecukupan. Qushayy adalah orang yang pertama
mewajibkan kepada Quraisy menyiapkan persediaan makanan. Dikumpulkannya
mereka itu dan ia sangat merasa bangga terhadap mereka ketika
bersama-sama mereka berhasil mengeluarkan Khuza'a dari Mekah. Ketika
mewajibkan itu ia berkata kepada mereka:
"Saudara-saudara Quraisy! Kamu sekalian
adalah tetangga Tuhan, keluarga RumahNya dan Tempat yang Suci. Mereka
yang datang berziarah adalah tamu Tuhan dan pengunjung RumahNya. Mereka
itulah para tamu yang paling patut dihormati. Pada musim ziarah itu
sediakanlah makanan dan minuman sampai mereka pulang kembali."
Hasyim dan Abd'l-Muttalib
Seperti
ayahnya, Abd'd-Dar juga telah memegang pimpinan Ka'bah dan kemudian
diteruskan oleh anak-anaknya. Akan tetapi anak-anak Abd Manaf
sebenarnya mempunyai kedudukan yang lebih baik dan terpandang juga di
kalangan masyarakatnya. Oleh karena itu, anak-anak Abd Manaf, yaitu
Hasyim, Abd Syams, Muttalib dan Naufal sepakat akan mengambil pimpinan
yang ada di tangan sepupu-sepupu mereka itu. Tetapi pihak Quraisy
berselisih pendapat: yang satu membela satu golongan yang lain membela
golongan yang lain lagi.
Keluarga Abd Manaf mengadakan Perjanjian
Mutayyabun dengan memasukkan tangan mereka ke dalam tib, (yaitu bahan
wangi-wangian) yang dibawa ke dalam Ka'bah. Mereka bersumpah takkan
melanggar janji. Demikian juga pihak Keluarga Abd'd-Dar mengadakan pula
Perjanjian Ahlaf: Antara kedua golongan itu hampir saja pecah perang
yang akan memusnakan Quraisy, kalau tidak cepat-cepat diadakan
perdamaian. Keluarga Abd Manaf diberi bagian mengurus persoalan air dan
makanan, sedangkan kunci, panji dan pimpinan rapat di tangan Keluarga
Abd'd-Dar. Kedua belah pihak setuju, dan keadaan itu berjalan tetap
demikian, sampai pada waktu datangnya Islam.
Tugas-tugas Duniawi dan Agama di Mekah
Hasyim
termasuk pemuka masyarakat dan orang yang berkecukupan. Dialah yang
memegang urusan air dan makanan. Dia mengajak masyarakatnya seperti
yang dilakukan oleh Qushayy kakeknya, yaitu supaya masing-masing
menafkahkan hartanya untuk memberi makanan kepada pengunjung pada musim
ziarah. Pengunjung Baitullah, tamu Tuhan inilah yang paling berhak
mendapat penghormatan. Kenyataannya memang para tamu itu diberi makan
sampai mereka pulang kembali.
Peranan yang dipegang Hasyim tidak hanya
itu saja, bahkan jasanya sampai ke seluruh Mekah. Pernah terjadi musim
tandus, dia datang membawakan persediaan makanan, sehingga kembali
penduduk itu menghadapi hidupnya dengan wajah berseri. Hasyim jugalah
yang membuat ketentuan perjalanan musim, musim dingin dan musim panas.
Perjalanan musim dingin ke Yaman, dan perjalanan musim panas ke Suria.
Dengan adanya semua kenyataan ini keadaan
Mekah jadi berkembang dan mempunyai kedudukan penting di seluruh
jazirah, sehingga ia dianggap sebagai ibukota yang sudah diakui. Dengan
perkembangan serupa itu tidak ragu-ragu lagi anak-anak Abd Manaf
membuat perjanjian perdamaian dengan tetangga-tetangganya. Hasyim
sendiri membuat perjanjian sebagai tetangga baik dan bersahabat dengan
Imperium Rumawi dan dengan penguasa Ghassan. Pihak Rumawi mengijinkan
orang-orang Quraisy memasuki Suria dengan aman. Demikian juga Abd Syams
membuat pula perjanjian dagang dengan Najasyi (Negus). Selanjutnya
Naufal dan Muttalib juga membuat persetujuan dengan Persia dan
perjanjian dagang dengan pihak Himyar di Yaman.
Mekah sekarang bertambah kuat dan bertambah
makmur. Demikian pandainya penduduk kota itu dalam perdagangan
sehingga tak ada pihak lain yang semasa yang dapat menyainginya.
Rombongan kafilah datang ke tempat itu dari segenap penjuru dan
berangkat lagi pada musim dingin dan musim panas. Di sekitar tempat itu
didirikan pasar-pasar guna menjalankan perdagangan itu. Itu pula
sebabnya mereka jadi cekatan sekali dalam utang-piutang dan riba serta
segala sesuatu yang berhubungan dengan perdagangan. Tak ada yang
teringat akan menyaingi Hasyim yang kini sudah makin lanjut usianya itu
dalam kedudukannya sebagai penguasa Mekah. Hanya kemudian terbayang
oleh Umayya anak Abd Syams -sepupunya - bahwa sudah tiba masanya kini
ia akan bersaing. Tetapi dia tidak berdaya, dan kedudukan itu tetap
dipegang Hasyim. Sementara itu Umayya telah meninggalkan Mekah dan
selama sepuluh tahun tinggal di Suria.
Pada suatu ketika dalam perjalanan pulang
dari Suria, ketika Hasyim melalui Jathrib dilihatnya seorang wanita
baik-baik dan terpandang, muncul di tengah-tengah orang yang sedang
mengadakan perdagangan dengan dia. Wanita itu ialah Salma anak 'Amr
dari kabilah Khazraj. Hasyim merasa tertarik. Ditanyakannya, adakah ia
sedang dalam ikatan dengan laki-laki lain? Setelah diketahui bahwa dia
seorang janda dan tidak mau kawin lai kecuali bila ia memegang
kebebasan sendiri, Hasyim lalu melamarnya. Dan wanita itupun menerima,
karena dia mengetahui kedudukan Hasyim di tengah-tengah masyarakatnya.
Beberapa waktu lamanya ia tinggal di Mekah
dengan suaminya. Kemudian ia kembali ke Jathrib. Di kota ini ia
melahirkan seorang anak yang diberi nama Syaiba.
Beberapa tahun kemudian dalam suatu
perjalanan musim panas ke Ghazza (Gaza). Hasyim meninggal dunia.
Kedudukannya digantikan oleh adiknya, Muttalib. Sebenarnya Muttalib ini
masih adik Abd Syams. Tetapi dia sangat dihormati oleh masyarakatnya.
Karena sikapnya yang suka menenggang dan murah hati oleh Quraisy ia
dijuluki Al-Faidz', ("Yang melimpah"). Dengan keadaan Muttalib yang
demikian itu di tengah-tengah masyarakatnya, sudah tentu segalanya akan
berjalan tenteram sebagaimana mestinya.
Pada suatu hari terpikir oleh Muttalib akan
kemenakannya, anak Hasyim itu. Ia pergi ke Jathrib. Dan karena anak
itu sudah besar, dimintanya kepada Salma supaya anaknya itu diserahkan
kepadanya. Oleh Muttalib dibawanya pemuda itu ke atas untanya dan
dengan begitu ia memasuki Mekah. Orang-orang Quraisy menduga bahwa yang
dibawa itu budaknya. Oleh karena itu mereka lalu memanggilnya: Abd'l
Muttalib (Budak Muttalib). "Hai," kata Muttalib. "Dia kemenakanku anak
Hasyim yang kubawa dari Jathrib." Tetapi sebutan itu sudah melekat pada
pemuda tersebut. Orang sudah memanggilnya demikian dan nama Syaiba
yang diberikan ketika dilahirkan sudah dilupakan orang.
Pada mulanya Muttalib ingin sekali
mengembalikan harta Hasyim untuk kemenakannya. Tetapi Naufal menolak,
lalu menguasainya. Sesudah Abd'l-Muttalib mempunyai kekuatan ia meminta
bantuan kepada saudara-saudara ibunya di Jathrib terhadap tindakan
saudara ayahnya itu dengan maksud supaya miliknya dikembalikan
kepadanya. Untuk memberikan bantuan itu pihak Khazraj di Jathrib
mengirimkan delapan puluh orang pasukan perang. Dengan demikian Naufal
terpaksa mengembalikan harta itu.
Sekarang Abd'l-Muttalib sudah menempati
kedudukan Hasyim. Sesudah pamannya Muttalib, dialah yang mengurus
pembagian air dan persediaan makanan. Dalam mengurus dua jabatan ini
terutama urusan air - ia menemui kesulitan yang tidak sedikit. Sampai
saat itu anaknya hanyalah seorang, yaitu Harith. Sedang persediaan air
untuk tamu - sejak terserapnya sumur Zamzam didatangkan dari beberapa
sumur yang terpencar-pencar sekitar Mekah, yang kemudian diletakkan di
sebuah kolam di dekat Ka'bah. Anak yang banyak itu akan merupakan
bantuan besar dan memudahkan pekerjaan serupa ini serta pengawasannya
sekaligus. Sebaliknya, kalau Abd'l-Muttalib harus memikul jabatan
penyediaan air dan makanan sedang anak hanya Harith satu-satunya, tentu
hal ini akan terasa berat sekali. Ini jugalah yang lama menjadi
pikiran.
Berziarah ke Mekah
Orang-orang
Arab masih selalu ingat kepada sumur Zamzam yang telah dicetuskan oleh
Mudzadz bin Amr beberapa abad yang lalu. Menjadi harapan mereka selalu
andaikata sumur itu masih tetap ada. Dan sesuai dengan kedudukannya
Abd'l-Muttalib pun tentu lebih banyak lagi memikirkan dam mengharapkan
hal itu. Demikian kerasnya keinginan itu hingga terbawa dalam tidurnya
seolah ada suara gaib menyuruhnya menggali kembali sumur yang pernah
menyembur di kaki Ismail neneknya dulu itu. Demikian mendesaknya suara
itu dengan menunjukkan sekali letak sumur itu. Dan diapun memang gigih
sekali ingin mencari letak Zamzam tersebut, sampai achirnya
diketemukannya juga, yaitu terletak antara dua patung: Saf dan Na'ila.
Ia terus mengadakan penggalian, dibantu
oleh anaknya, Harith. Waktu itu tiba-tiba air membersit dan dua pangkal
pelana emas dan pedang Mudzadz mulai tampak. Sementara itu orang-orang
lalu mau mencampuri Abd'l-Muttalib dalam urusan sumur itu serta apa
yang terdapat di dalamnya. Akan tetapi Abd'l-Muttalib berkata:
"Tidak! Tetapi marilah kita mengadakan
pembagian, antara aku dengan kamu sekalian. Kita mengadu nasib dengan
permainan qid-h (anak panah). Dua anak panah buat Ka'bah, dua buat aku
dan dua buat kamu. Kalau anak panah itu keluar, ia mendapat bagian,
kalau tidak, dia tidak mendapat apa-apa."
Usul ini disetujui. Lalu anak-anak panah
itu diberikan kepada juru qid-h yang biasa melakukan itu di tempat
Hubal di tengah-tengah Ka'bah. Anak panah Quraisy ternyata tidak
keluar. Sekarang pedang-pedang itu buat Abd'l-Muttalib dan dua buah
pangkal pelana emas buat Ka'bah. Pedang-pedang itu oleh Abd'l-Muttalib
dipasang di pintu Ka'bah, sedang kedua pelana emas dijadikan perhiasan
dalam Rumah Suci itu. Abd'l Muttalib meneruskan tugasnya mengurus air
untuk keperluan tamu, sesudah sumur Zamzam dapat berjalan lancar.
Karena tidak banyak anak, Abd'l-Muttalib di
tengah-tengah masyarakatnya sendiri itu merasa kekurangan tenaga yang
akan dapat membantunya. Ia bernadar; kalau sampai beroleh sepuluh anak
laki-laki kemudian sesudah besar-besar tidak beroleh anak lagi seperti
ketika ia menggali sumur Zamzam dulu, salah seorang di antaranya akan
disembelih di Ka'bah sebagai kurban untuk Tuhan. Tepat juga anaknya
yang laki-laki akhirnya mencapai sepuluh orang dan takdirpun menentukan
pula sesudah itu tidak beroleh anak lagi.
Dipanggilnya semua anak-anaknya dengan
maksud supaya dapat memenuhi nadarnya. Semua patuh. Sebagai konsekwensi
kepatuhannya itu setiap anak menuliskan namanya masing-masing di atas
qid-h (anak panah). Kemudian semua itu diambilnya oleh Abd'l-Muttalib
dan dibawanya kepada juru qid-h di tempat berhala Hubal di
tengah-tengah Ka'bah.
Abdullah bin Abd'l-Muttalib
Apabila
sedang menghadapi kebingungan yang luarbiasa, orang-orang Arab masa
itu lalu minta pertolongan juru qid-h supaya memintakan kepada Maha
Dewa Patung itu dengan jalan (mengadu nasib) melalui qid-h. Abdullah
bin Abd'l-Muttalib adalah anaknya yang bungsu dan yang sangat dicintai.
Setelah juru qid-h mengocok anak panah yang
sudah dicantumi nama-nama semua anak-anak yang akan menjadi pilihan
dewa Hubal untuk kemudian disembelih oleh sang ayah, maka yang keluar
adalah nama Abdullah. Dituntunnya anak muda itu oleh Abd'l-Muttalib dan
dibawanya untuk disembelih ditempat yang biasa orang-orang Arab
melakukan itu di dekat Zamzam yang terletak antara berhala Isaf dengan
Na'ila.
Kisah Penebusannya
Tetapi
saat itu juga orang-orang Quraisy serentak sepakat melarangnya supaya
jangan berbuat, dan atas pembatalan itu supaya memohon ampun kepada
Hubal. Sekalipun mereka begitu mendesak, namun Abd'l-Muttalib masih
ragu-ragu juga. Ditanyakannya kepada mereka apa yang harus diperbuat
supaya sang berhala itu berkenan. Mughira bin Abdullah dari suku
Makhzum berkata: "Kalau penebusannya dapat dilakukan dengan harta kita,
kita tebuslah."
Setelah antara mereka diadakan perundingan,
mereka sepakat akan pergi menemui seorang dukun di Jathrib yang sudah
biasa memberikan pendapat dalam hal semacam ini. Dalam pertemuan mereka
dengan dukun wanita itu kepada mereka dimintanya supaya menangguhkan
sampai besok.
"Berapa tebusan yang ada pada kalian?" tanya sang dukun.
"Sepuluh ekor unta."
"Kembalilah ke negeri kamu sekalian," kata
dukun itu. "Sediakanlah tebusan sepuluh ekor unta. Kemudian keduanya
itu diundi dengan anak panah. Kalau yang keluar itu atas nama anak
kamu, ditambahlah jumlah unta itu sampai dewa berkenan."
Merekapun menyetujui.
Setelah yang demikian ini dilakukan
ternyata anak panah itu keluar atas nama Abdullah juga. Ditambahnya
jumlah unta itu sampai mencapai jumlah seratus ekor. Ketika itulah anak
panah keluar atas nama unta itu. Sementara itu orang-orang Quraisy
berkata kepada Abd'l-Muttalib - yang sedang berdoa kepada tuhannya:
"Tuhan sudah berkenan."
"Tidak," kata Abd'l-Muttalib. "Harus
kulakukan sampai tiga kali." Tetapi sampai tiga kali dikocok anak panah
itupun tetap keluar atas nama unta itu juga. Barulah Abd'l-Muttalib
merasa puas setelah ternyata sang dewa berkenan. Disembelihnya unta itu
dan dibiarkannya begitu tanpa dijamah manusia atau binatang.
Dengan begitu itulah buku-buku biografi
melukiskan. Digambarkannya beberapa macam adat-istiadat orang Arab,
kepercayaan serta cara-cara mereka melakukan upacara kepercayaan itu.
Hal ini menunjukkan sekaligus betapa mulianya kedudukan Mekah dengan
Rumah Sucinya itu di tengah-tengah tanah Arab. At-Tabari menceritakan -
sehubungan dengan kisah penebusan ini - bahwa pernah ada seorang
wanita Islam bernadar bahwa bila maksudnya terlaksana dalam melakukan
sesuatu, ia akan menyembelih anaknya. Ternyata kemudian maksudnya
terkabul. Ia pergi kepada Abdullah bin Umar. Orang ini tidak memberikan
pendapat. Kemudian ia pergi kepada Abdullah bin Abbas yang ternyata
memberikan fatwa supaya ia menyembelih seratus ekor unta, seperti
halnya dengan penebusan Abdullah anak Abd'l-Muttalib. Tetapi Marwan -
penguasa Medinah ketika itu - merasa heran sekali setelah mengetahui
hal itu. "Nadar tidak berlaku dalam suatu perbuatan dosa," katanya.
Kedudukan Mekah dengan status Rumah Sucinya
itu menyebabkan beberapa daerah lain yang jauh-jauh juga membuat
rumah-rumah ibadat sendiri-sendiri, dengan maksud mengalihkan perhatian
orang dari Mekah dan Rumah Sucinya. Di Hira pihak Ghassan mendirikan
rumah suci, Abraha al-Asyram membangun rumah suci di Yaman. Tetapi bagi
orang Arab itu tak dapat menggantikan Rumah Suci yang di Mekah, juga
tak dapat memalingkan mereka dari Kota Suci itu. Bahkan sampai demikian
rupa Abraha menghiasi rumah sucinya yang di Yaman, dengan membawa
perlengkapan yang paling mewah yang kira-kira akan menarik orang-orang
Arab - bahkan orang-orang Mekah sendiri - ke tempat itu.
Kisah Abraha dan Gajah
Akan
tetapi setelah ternyata bahwa tujuan orang-orang Arab itu hanya Rumah
Purba itu juga, dan orang-orang Yaman sendiripun meninggalkan rumah
yang dibangunnya itu serta menganggap ziarah mereka tidak sah kalau
tidak ke Mekah, maka sekarang tak ada jalan lain bagi penguasa Negus
itu kecuali ia harus menghancurkan rumah Ibrahim dan Ismail itu. Dengan
pasukan yang besar didatangkan dari Abisinia dia sudah mempersiapkan
perang dan dia sendiri di depan sekali di atas seekor gajah besar.
Tatkala pihak Arab mendengar hal itu, besar
sekali kekuatirannya akan akibat yang mungkin ditimbulkan karenanya.
Suatu hal yang luar biasa bagi mereka, kedatangan seorang laki-laki
Abisinia akan menghancurkan rumah suci mereka dan tempat
berhala-berhala mereka. Seorang laki-laki bernama Dhu-Nafar - salah
seorang bangsawan dan terpandang di Yaman - tampil ke depan mengerahkan
masyarakatnya dan orang Arab lainnya yang bersedia berjuang melawan
Abraha serta maksudnya yang hendak menghancurkan Baitullah. Tetapi dia
tak dapat menghalangi Abraha. Malah dia sendiri terpukul dan menjadi
tawanan. Nasib yang demikian itu juga yang menimpa Nufail bin Habib
al-Khath'ami ketika ia mengerahkan masyarakatnya dari kabilah Syahran
dan Nahis, malah dia sendiri yang tertawan, yang kemudian menjadi
anggota pasukannya dan menjadi penunjuk jalan. Ketika Abraha sampai di
Ta'if penduduk tempat itu mengatakan, bahwa rumah suci mereka bukanlah
rumah suci yang dimaksudkan Abraha. Itu adalah rumah Lat. Kemudian ia
diantar oleh orang-orang yang bersedia menunjukkan jalan ke Mekah.
Bila Abraha sudah mendekati Mekah
dikirimnya pasukan berkuda sebagai kurir. Dari Tihama mereka dapat
membawa harta benda Quraisy dan yang lain-lain, di antaranya seratus
ekor unta kepunyaan Abd'l-Muttalib bin Hasyim. Pada mulanya orang-orang
Quraisy bermaksud mengadakan perlawanan. Tapi kemudian berpendapat,
bahwa mereka takkan mampu. Sementara itu Abraha sudah mengirimkan salah
seorang pengikutnya sebagai utusan bernama Hunata dan Himyar untuk
menemui pemimpin Mekah. Ia diantar menghadap Abd'l-Muttalib bin Hasyim,
dan kepadanya ia menyampaikan pesan Abraha, bahwa kedatangannya bukan
akan berperang melainkan akan menghancurkan Baitullah. Kalau Mekah
tidak mengadakan perlawanan tidak perlu ada pertumpahan darah.
Begitu Abd'l-Muttalib mendengar, bahwa
mereka tidak bermaksud berperang, ia pergi ke markas pasukan Abraha
bersama Hunata, bersama anak-anaknya dan beberapa pemuka Mekah lainnya.
Kedatangan delegasi Abd'l-Muttalib ini disambut baik oleh Abraha,
dengan menjanjikan akan mengembalikan unta Abd'l-Muttalib. Akan tetapi
segala pembicaraan mengenai Ka'bah serta supaya menarik kembali
maksudnya yang hendak menghancurkan tempat suci itu ditolaknya belaka.
Juga tawaran delegasi Mekah yang akan mengalah sampai sepertiga harta
Tihama baginya, ditolak. Abd'l-Muttalib dan rombongan kembali ke Mekah.
Dinasehatkannya supaya orang meninggalkan tempat itu dan pergi ke
lereng-lereng bukit, menghindari Abraha dan pasukannya yang akan
memasuki kota suci dan menghancurkan Rumah Purba itu.
Malam gelap gelita tatkala mereka
memikirkan akan meninggalkan kota itu dan di mana pula akan tinggal.
Malam itulah Abd'l-Muttalib pergi dengan beberapa orang Quraisy,
berkumpul sekeliling pintu Ka'bah. Dia bermohon, mereka pun bermohon
minta bantuan berhala-berhala terhadap agresor yang akan menghancurkan
Baitullah itu.
Ketika mereka sudah pergi dan seluruh Mekah
sunyi dan tiba waktunya bagi Abraha mengerahkan pasukannya
menghancurkan Ka'bah dan sesudah itu akan kembali ke Yaman, ketika itu
pula wabah cacar datang berkecamuk menimpa pasukan Abraha dan
membinasakan mereka. Serangan ini hebat sekali, belum pernah dialami
sebelumnya. Barangkali kuman-kuman wabah itu yang datang dibawa angin
dari jurusan laut, dan menular menimpa Abraha sendiri. Ia merasa
ketakutan sekali. Pasukannya diperintahkan pulang kembali ke Yaman, dan
mereka yang tadinya menjadi penunjuk jalan sudah lari, dan ada pula
yang mati. Bencana wabah ini makin hari makin mengganas dan
anggota-anggota pasukan yang mati sudah tak terbilang lagi banyaknya.
Sampai juga Abraha ke Shan'a' tapi badannya
sudah dihinggapi penyakit. Tidak berselang lama kemudian diapun mati
seperti anggota pasukannya yang lain. Dan dengan demikian orang Mekah
mencatatnya sebagai Tahun Gajah. Dan ini yang diabadikan dalam Qur'an:
"Tidakkah kau perhatikan, bagaimana Tuhanmu
berbuat terhadap pasukan orang-orang bergajah? Bukankah Dia gagalkan
rencana mereka? Dan dilepaskan di atas mereka pasukan-pasukan burung.
Melempari mereka dengan batu yang keras membakar. Sehingga mereka
seperti daun-daun kering yang binasa berserakan." (Qur'an 105: -4)
Peristiwa yang luar biasa ini lebih
memperkuat kedudukan Mekah dalam arti agama, di samping itu telah
memperkuat pula kedudukannya dalam arti perdagangan. Juga menyebabkan
penduduknya lebih banyak memperhatikan dan memelihara kedudukan yang
tinggi dan istimewa itu serta mempertahankannya dari segala usaha yang
akan mengurangi arti atau akan menyerang kota ini. Orang-orang Mekah
lebih bersemangat lagi mempertahankan kota mereka, mengingat kehidupan
yang mereka peroleh karenanya, hidup makmur dan mewah sejauh yang dapat
kita bayangkan kemewahan hidup mereka di daerah padang-pasir ini,
gersang dan tandus.
Kegemaran penduduk daerah ini yang
luarbiasa ialah minum nabidh (minuman keras). Dalam keadaan mabuk itu
mereka menemukan suatu kenikmatan yang tak ada taranya! Suatu
kenikmatan yang akan memudahkan mereka melampiaskan hawa nafsu, akan
menjadikan dayang-dayang dan budak-budak belian yang diperjual-belikan
sebagai barang dagangan itu lebih memikat hati mereka. Yang demikian
ini mendorong semangat mereka mempertahankan kebebasan pribadi dan
kebebasan kota mereka serta kesadaran mempertahankan kemerdekaan dan
menangkis segala serangan yang mungkin datang dari musuh. Yang paling
enak bagi mereka bersenang-senang waktu malam sambil minum-minum
hanyalah di pusat kota sekeliling bangunan Ka'bah.
Di tempat itu - di samping tiga ratus buah
berhala atau lebih, masing-masing kabilah dengan berhalanya -
pembesar-pembesar Quraisy dan pemuka-pemuka Mekah duduk-duduk;
masing-masing menceritakan hal-hal yang berhubungan dengan keadaan
pedalaman, dengan Yaman, orang-orang Mundhir di Hira dan orang-orang
Ghassan di Suria, tentang datangnya kafilah serta lalu-lintas
orang-orang pedalaman.
Kejadian demikian itu sampai kepada mereka
dalam bentuk cerita, dari suatu kabilah kepada kabilah yang lain.
Setiap kabilah mempunyai "pemancar" dan "pesawat radio" yang menerima
berita-berita kemudian disiarkan kembali. Masing-masing membawa cerita
yang ada hubungannya dengan berita-berita orang pedalaman, kisah-kisah
tetangga dan handai-tolan sambil minum-minum nabidh. Dan sesudah mereka
bermalam suntuk di Ka'bah mereka menyiapkan diri untuk hal yang sama
guna lebih memuaskan kehendak hawa-nafsu. Dengan mata batu permata
berhala-berhala itu menjenguk melihat kepada mereka yang sedang
berdagang itu, dan mereka merasa mendapat perlindungan, karena Ka'bah
itu dijadikan Rumah Suci dan Mekah menjadi kota aman sentosa. Demikian
juga berhala-berhala mendapat jaminan mereka, bahwa tak seorangpun Ahli
Kitab akan memasuki Mekah kecuali tenaga kerja yang takkan bicara
tentang agama atau kitabnya.
Itulah sebabnya di sana tak ada
koloni-koloni Yahudi seperti di Jathrib atau Nasrani seperti di Najran.
Bahkan Ka'bah yang dijadikan tempat paganisma yang paling suci ketika
itu mereka lindungi dari semua yang akan menghinanya, dan merekapun
berlindung ke sana dari segala serangan. Begitulah seterusnya Mekah itu
bebas berdiri sendiri, seperti kabilah-kabilah Arab yang bebas pula
berdiri sendiri-sendiri. Mereka tidak mau kalau kebebasannya itu
diganti, dan mereka tidak pedulikan cara hidup lain selain kebebasannya
ini di bawah perlindungan berhala-berhala. Masing-masing kabilah tidak
pula terganggu, dan tidak pula terpikir oleh mereka akan mengadakan
suatu kesatuan bangsa yang kuat, seperti yang dilakukan oleh Rumawi dan
Persia dalam meluaskan kekuasaan dan melakukan peperangan.
Oleh karena itu tetaplah kabilah-kabilah
itu semua tidak mempunyai sesuatu bentuk apapun selain cara-cara hidup
pedalaman, tempat mereka mencari padang rumput untuk ternak, kemudian
hidup di tengah-tengah itu dengan cara hidup yang kasar, tertarik oleh
segala kebebasan, kemerdekaan, kebanggaan dan kepahlawanan.
Pada dasarnya tempat-tempat tinggal di
Mekah mengelilingi lingkungan Ka'bah. Jauh dekatnya rumah-rumah itu
dari Ka'bah tergantung dari penting dan tingginya kedudukan sesuatu
keluarga atau suku. Kaum Quraisy adalah yang terdekat letaknya dan
paling banyak berhubungan dengan Rumah Suci itu. Merekalah yang
memegang kuncinya dan kepengurusan air Zamzam, juga segala gelar-gelar
kebangsawanan menurut paganisma ada pada mereka, yang sampai
menimbulkan perang karenanya, menyebabkan adanya persekutuan, atau
perjanjian-perjanjian perdamaian antar kabilah, yang tetap tersimpan di
dalam Ka'bah, supaya dapat disaksikan oleh sang berhala untuk kemudian
menurunkan murkanya bagi mereka yang melanggar.
Di belakang rumah-rumah Quraisy itu
menyusul pula rumah-rumah kabilah yang agak kurang penting
kedudukannya, diikuti oleh yang lebih rendah lagi, sampai kepada
tempat-tempat tinggal kaum budak dan sebangsa kaum gelandangan.
Termasuk umat Kristen dan Yahudi di Mekah, seperti kita sebutkan tadi -
adalah juga budak. Tempat-tempat tinggal mereka jauh dari Ka'bah malah
sudah berbatasan dengan sahara. Oleh karena itu percakapan mereka
tentang kisah-kisah agama, baik Kristen atau Yahudi, tidak sampai
mendekati telinga pemuka-pemuka Quraisy dan penduduk Mekah umumnya.
Letak mereka yang lebih jauh itu benar-benar membuat mereka lebih rapat
lagi menutup telinga. Mereka tidak mau menyibukkan diri dengan itu.
Dalam perjalanan mereka melalui biara-biara dan tempat-tempat para
rahib sudah biasa mereka mendengar cerita serupa itu.
Hanya saja apa yang sudah mulai
diperkatakan orang tentang akan datangnya seorang nabi di tengah-tengah
orang Arab waktu itu, sudah cukup menimbulkan heboh. Abu Sufyan pernah
marah kepada Umayya bin Abi'sh-Shalt karena orang ini sering
mengulang-ulang cerita para rahib tentang hal serupa itu. Dan
barangkali sesuai dengan kedudukan Abu Sufyan juga ketika itu ketika ia
berkata kepada kawannya itu: Para rahib itu suka membawa cerita semacam
itu karena mereka tidak mengerti soal agama mereka sendiri. Mereka
memerlukan sekali adanya seorang nabi yang akan memberi petunjuk kepada
mereka. Tetapi kita yang sudah punya berhala-berhala, yang akan
mendekatkan kita kepada Tuhan, tidak memerlukan lagi hal serupa itu.
Kita harus menentang semua pembicaraan semacam itu.
Dapat saja ia bicara begitu. Dia, yang
begitu fanatik kepada Mekah dan kehidupan paganismanya, tak pernah
membayangkan bahwa saatnya sudah di ambang pintu, bahwa kenabian
Muhammad saw sudah dekat dan bahwa dari tanah Arab pagan yang beraneka
ragam itu cahaya Tauhid dan sinar kebenaran akan memancar ke seluruh
dunia.
Abdullah bin Abd'l-Muttalib sebenarnya
adalah pemuda yang berwajah tampan dan menarik. Menarik perhatian
gadis-gadis dan wanita-wanita Mekah. Lebih-lebih lagi yang menarik
perhatian mereka ialah kisah penebusan, dan kisah seratus ekor unta
yang tidak mau diterima oleh Hubal kurang dari itu. Tetapi takdir sudah
menentukan Abdullah akan menjadi seorang ayah yang paling mulia yang
pernah dikenal sejarah. Demikian juga Aminah bint Wahb akan menjadi ibu
bagi anak Abdullah itu. Ia kawin dengan wanita itu dan selang beberapa
bulan kemudian iapun meninggal. Tak ada lagi penebusan berupa apapun
yang akan melepaskan dia dari maut. Tinggal lagi Aminah kemudian akan
melahirkan Muhammad dan akan mati semasa yang dilahirkan itu masih
bayi.
Pada gambar berikut ini silsilah keturunan Nabi yang menerangkan perkiraan tahun-tahun kelahiran mereka masing-masing.
Catatan kaki:
[1]
Kaum Sabian yang dimaksudkan di sini bukan yang dimaksudkan dalam
Qur'an (2: 62), yaitu sekta Nasrani yang berpegang pada Taurat dan
Injil yang belum mengalami perubahan, melainkan orang-orang Harran yang
disebut oleh Ibn Taimia sebagai pusat golongan ini dan sebagai tempat
kelahiran Ibrahim atau tempat ia pindah dan Irak (Mesopotamia). Di
tempat ini terdapat kuil-kuil tempat menyembah bintang-bintang.
Kepercayaan mereka ini sebelum datangnya agama Nasrani. Setelah datang
Agama Nasrani, kepercayaan mereka menjadi campur-baur dan dikenal
sebagai pseudo-Sabian. (Dikutip oleh al-Qasimi dalam Mahasin't-Ta'wil,
jilid 2 hal. 154-147). Juga mereka tidak sama dengan kaum Sabaean yang
berasal dari Saba di Arab Selatan (A)
Hak cipta milik Allah swt © 2010-2011 - disalin kembali di web oleh |